Tuesday 12 May 2015

[CERBUNG] BIJI -BIJI HITAM

CERBUNG BOBO 2 BAGIAN

Bobo nomer 45, 12 Februari 2015 (bag. 1)

Putri Uttejana adalah Putri Kerajaan Kanjuruhan yang lebih suka bermain daripada belajar. Sampai suatu hari Kerajaan Kanjuruhan dikepung pasukan kerajaan nun jauh di bumi utara. Apa yang dilakukan Putri Uttejana dan Sang Ayahanda Raja Gajayana?








Bobo no 46, 19 Februari 2015 (bagian 2)





BIJI-BIJI HITAM
*FiFadila*
(1)


“Huh…burung merah itu berhasil kabur.” Putri Utejana menggerutu di depan sangkar buatannya. Sayangnya, sangkar itu kosong. Burung incarannya tak berhasil masuk perangkapnya. 
Kemarin dia sudah bersusah payah membuat kurungan ranting-ranting pohon sendiri. Dia isi beras dan biji jagung untuk menarik perhatian si burung merah. Eh, nyatanya buruannya berhasil lepas setelah mengicip biji-biji jagung. Putri Utejana menepok jidat. Tentu saja burung incarannya kabur karena pintu sarang burung dia biarkan terbuka.
Hupff!! Putri Utejana menghela napas kecewa. Padahal dia ingin sekali memelihara burung itu untuk dia letakkan di kamarnya. Suaranya merdunya pasti membuat paginya selalu ceria. 
“Eh, apa itu di dalam wadah jagung?” matanya terpicing pada biji-biji hitam sebesar ujung jarinya. Bentuknya lonjong lebih besar daripada biji jagung.
“Ini kan biji-biji kopi. Di dapur juga banyak ginian.” Putri Utejana kesal. Dia yakin burung merah mengambil biji kopi itu saat dijemur di halaman belakang istana.
Melihat biji kopi di tangannya membuat Putri Utejana mengeluh. Kerajaan mereka dikelilingi pohon kopi. Ia bosan melihat biji kopi di mana-mana. Sampai-sampai dia pakai biji kopi untuk mainan: main congklak, bola bekel, sampai peluru ketapel.
Koki istana bilang aroma kopi itu harum, terutama yang keluar dari perut hewan luwak. Setelah dicuci, dijemur dan ditumbuk, biji-biji kopi itu enak diseduh dengan air panas. Koki sering menyeduhkannya pada para pengawal istana yang sedang ronda malam.
Putri Utejana bergidik. Minuman pahit seperti itu mana ada yang mau, sih?! gerutu Putri Utejana siap-siap melemparkan biji kopi jauh-jauh.
“Hmm, jadi bolos pelajaran tata negara untuk main petak umpet disini, ya?” seru suara berat di belakangnya.
Ayunan tangan Putri Utejana berhenti. Cepat-cepat ia mengantongi biji kopi dan berbalik saking kagetnya.
“Eh, Ayahanda Raja Gajayana! Saya lagi cari udara segar di luar. Habisnya…, pelajaran Mpu Niswan bikin ngantuk.” Putri Utejana nyengir. Dia mencoba senyum manis sebelum kena hukuman mengelap debu rak-rak buku perpustakaan selama seminggu.
Sayang usahanya gagal total.
“Hukuman membersihkan perpustakaan dimulai siang ini. Mpu Niswan sudah Ayah peringatkan supaya lebih keras mengajarimu,” ucap Ayahanda Raja tegas.
Putri Utejana protes pada ayahnya. Namun Raja Gajayana sudah berlalu dari hadapannya. Ia tahu Raja tidak pernah menarik hukumannya. Meski dia putri raja, tapi dia tidak pernah sekalipun mendapat keringanan hukuman. Jadi jika Raja sudah menjatuhkan keputusan, tak bisa diganggu gugat kagi.
Putri Utejana manyun saat berjalan menuju ruang perpustakaan. Ia merogoh biji-biji kopi dikantongnya. Tak berhasil menangkap burung! Kena hukuman pula! Dia meletakkan biji-biji kopi di meja belajar perpustakaan. Ketika menggelinding ke lantai kayu pun, dia tak peduli. Sesudah itu tak pernah memikirkannya lagi.
***
Suatu hari seorang utusan dari Kerajaan Cina datang. Tamu itu bertubuh besar dan garang. Dia semakin terlihat sangar di atas kudanya tanpa senyum sedikit pun di hadapan Ayahanda Raja Gajayana.
Putri Utejana bersembunyi di balik pintu istana. Ia ngeri melihat kedatangan utusan itu. Suasana di halaman istana berubah hening dan suram. Dia merasa suatu hal buruk akan terjadi di kerajaan mereka. Ia berharap Ayahanda Raja Gajayana mengusir utusan angkuh dan tak tahu sopan santun itu. Masak berhadapan dengan raja tidak menunjukkan sikap hormat sama sekali.  
Tapi sikap ayahandanya tidak seperti perkiraannya. Dengan ramah Raja Gajayana menyambut utusan itu dengan ramah. Bahkan mempersilahkannya masuk.
Putri Utejana bangga pada ayahandanya. Meski diperlakukan tak sopan, namun Raja Gajayana tetap ramah. Tapi yang membuat Putri Utejana kembali kesal, utusan itu menolak dengan angkuh di atas kudanya. Bahkan suaranya terdengar menghina. Seolah-olah utusan itu ingin menunjukkan kekuasaannya sebagai utusan kerajaan daratan Cina.
“Aku datang bukan untuk bersenang-senang. Aku datang untuk memberi pengumuman penting dari penguasa daratan Cina.” Utusan Kerajaan Cina berkata angkuh. Tak ada senyum di wajahnya. Dia membuka kasar sebuah gulungan perkamen dan menyuruh semua orang diam seolah-olah ia hendak membaca kitab suci.
Putri Utejana pucat pasi. Suasana sunyi senyap di sekitarnya membuat hatinya menciut.
 “Atas nama Raja Han, penguasa daratan Cina.” Suara utusan itu menggelegar di setiap sudut halaman istana. “Kerajaan Kanjuruhan telah dikepung 1000 prajurit siap perang. Raja Han meminta Kerajaan Kanjuruhan tunduk pada penguasa Kerajaan Cina dan membayar upeti tiap purnama. Jika Raja Gajayana menolak, maka hari ini juga Raja dan keluarganya akan ditangkap.”
Putri Utejana mendelik. Jika Kerajaan sudah dikepung berarti tidak ada jalan melarikan diri. (bersambung)




BIJI-BIJI HITAM
*FiFadila*
(2)

Putri Utejana ingin berlari kepada ayahanda Raja Gajayana. Namun kakinya kaku melihat utusan itu menggulung pengumuman. Tatapannya begitu bengis pada Raja.
Putri Utejana menunggu reaksi ayahandanya. Anehnya sang ayah bersikap begitu tenang. Wajahnya siap menghadapi situasi sesulit apapun tanpa gemetaran.
“Sebelumnya, ijinkan saya menyambut kedatangan Anda dengan hormat. Mari masuk dan kita membicarakan di perpustakaan kecil kami.” Raja Gajayana berbicara tanpa raut takut.
Utusan itu memandang Raja penuh selidik. Setelah diam beberapa waktu, dia turun dari kudanya. Dengan angkuh dia mengikuti langkah Raja Gajayana.
Putri Utejana segera sigap menuju perpustakaan. Dia membuka pintu perpustakaan untuk ayahanda dan tamunya. Ia ingat pelajaran penting ayahanda Raja. Sejahat apapun seseorang padamu, jangan pernah kehilangan keberanian dan kesopanan.
Langkah kasar utusan itu menggetarkan dinding kayu istana. Putri Utejana berdiri di samping pintu dengan menunduk. Saat tiba di ambang pintu, langkah kasar itu terhenti cukup lama.
Putri Utejana penasaran. Dia mendongak. Utusan itu memejamkan mata sambil mengendus udara.
“Bau apa ini?” tanya sang utusan galak. Matanya mendelik ingin tahu. Keningnya mengerut.
Raja Gajayana menajamkan hidungnya. Putri Utejana ikut menghirup udara. Dia biasa mencium aroma itu.
Tiga pengawal maju menggeledah rak buku, dinding kayu, lantai kayu, dan atap perpustakaan. Setelah lima belas menit mencari seorang pengawal kerajaan menemukan sumber bau itu. Dia mencungkil sesuatu dari sela-sela lantai kayu dan menyerahkannya pada Raja Gajayana. 
Terdengar tawa ayahanda raja. Putri Utejana jadi penasaran. Dia mendongak dan melihat benda kecil yang masing-masing dipegang Raja Gajayana dan sang utusan kerajaan seberang.
“Bukankah ini biji kopi?” utusan daratan Cina begitu tertarik dengan biji kecil itu.
“Betul,” jawab Raja. “Ini adalah biji kopi luwak yang biasa diseduh koki istana untuk para penjaga kerajaan kami.”
“Bagaimana mungkin bisa seharum ini?” utusan itu bertanya penuh keanehan.
Raja tidak bisa menjawab. Sepertinya dia tidak tahu bagaimana mungkin kopi harum bisa sampai di perpustakaan.
“Eh, ini biji kopi yang dibawa burung merah sebulan lalu.” Putri Utejana memberanikan diri berbicara. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalanya. “Juru masak istana juga bisa menyeduhkan kopi untuk anda dan para prajurit di luar sana.”
Putri Utejana bergegas menuju dapur. Dia meminta koki istana menyeduhkan wedang kopi luwak panas untuk sang utusan. Seloyang roti beraroma kopi luwak juga siap menemani hidangan. Kemudian Putri Utejana membantu membagikan wedang kopi berkuali-kuali besar dan berloyang-loyang roti beraroma kopi untuk para prajurit yang mengepung istana. Para prajurit kebingungan mendapat keramahan semacam itu. Mereka datang ke tempat itu untuk berperang malah disuguhi hidangan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
Putri Utejana merasa lega. Suasana tegang di sekitar istana mulai mencair. Utusan dari seberang terlihat asyik berbincang dengan ayahanda Raja. Bahkan utusan itu sepertinya lupa tujuan mereka datang untuk berperang. Yang terdengar adalah pujian betapa bagus kualitas biji kopi di hutan kanjuruhan.
“Belum pernah saya merasakan wedang kopi seenak ini. Pastinya kalian memiliki rahasia membuat biji kopi harum. Sayang sekali jika kita berperang di wilayah yang memiliki hutan kopi istimewa ini. Tentu pohon-pohon kopi ini akan hancur sia-sia. Kau tahu Raja Gajayana, Raja kami sangat menyukai minuman kopi. Jika kuceritakan kualitas kopi ini, dia pasti mau berdagang dengan anda.”
“Tentu saja. Kami selalu senang bekerjasama dengan siapa saja.”
Raja Gajayana dan utusan itu bersalaman penuh persahabatan. Raja Gajayana membekali mereka bubuk kopi yang siap seduh sebagai hadiah untuk Raja Cina.
Sejak saat itu negeri Kanjuruhan terkenal dengan biji kopi perdamaiannya. Putri Utejana tidak lagi menggunakan biji kopi untuk mainan. Dia dengan senang hati belajar memilih biji-biji kopi terenak dan membuat bubuk kopi yang harum untuk diseduh. Dia pun rajin belajar tata negara pada Mpu Niswan agar bisa mewakili ayahnya menghadapi para utusan yang tertarik bermitra dagang dengan Kerajaan Kanjuruhan. Ah, biji kopi yang dia anggap sebagai mainan belaka, ternyata ampuh menciptakan perdamaian dan menyejahterakan rakyat di Kanjuruhan. (TAMAT)


No comments: