Alhamdulillah,
akhirnya kesampaian juga mengikuti acara workshop kompas 2015. Saya beserta 39
peserta dari Jatim, Bali dan Nusa Tenggara mengikuti workshop di Bentara Budaya
Bali tanggal 22 Mei 2015 dengan pembicara cerpenis besar Profesor Budi Darma
dan Gde Aryantha Soetama. Mereka adalah sastrawan senior yang telah mendapatkan
banyak penghargaan sastra dari masa saya masih bayi dan nama mereka tak pernah
absen muncul di kumpulan cerpen pilihan kompas tiap tahun.
Sebagai
peserta dari luar kota, saya bersyukur sekali mendapatkan fasilitas ekstra
penjemputan dari terminal ke lokasi seminar dan penginapan dua malam yang cukup
memadai dan gratis pula. Para panitianya benar-benar bekerja layaknya
profesional. Padahal kebanyakan dari mereka masih mahasiswa, lho. So charming
^_^
Budi Darma dan
Teori Menulis
Budi
Darma mengawali seminarnya dengan mengutip kalimat Stephen King, penulis novel
horor amerika. “All theory of writing
books are bullshit.” Intinya (secara tersirat) adalah, jangan minder atau
takut nulis cerpen untuk koran (terutama kompas).
Budi
Darma mengulas beberapa cerpenis Indonesia dan dunia yang dianggap memberikan
landasan bagus dalam dunia penulisan. Yang pertama adalah Soeman Hs yang
memelopori cerpen koran yang singkat, menghibur, sekaligus memberikan pesan
dalam pada pembacanya. Senada dengan Soeman Hs, hakikat cerpen bagi Somerset
Maugham haruslah singkat, padat, judul menarik, dan plot berkembang dengan
lancar dan menarik pembaca untuk mengetahui apa yang terjadi seterusnya dan
seterusnya. Sedangkan Edgar Alan Poe meyakini bahwa cerpen harus memberikan
efek teror dan horor pada pembacanya. Aliran ini di Indonesia kita kenal lekat
dalam tulisan-tulisan Putu Wijaya.
Meminjam
pemikiran para pakar behavioursm: Pavlov dan JB Watson, Budi Darma mengatakan
bahwa seseorang bisa dikondisikan menjadi apa saja atau siapa saja. Termasuk
menjadi pengarang. Tidak perlu bakat alam untuk bisa menulis, yang penting
membiasakan diri menulis. Proses menulis didalamnya termasuk kegiatan berkelana,
menganalisa, dan tidak berhenti merevisi tulisan-tulisan. Sesungguhnya seorang
penulis baru dianggap sedang bekerja saat dia melakukan proses revisi sehingga
menghasilkan karya matang yang bisa dinikmati dan dikenang pembacanya sepanjang
masa.
Menambahkan
cerita yang patut kita renungkan dari Gde Aryantha Soetama. Beliau bercerita
tentang seorang pelukis Bali yang bernama Lempat. Seniman tersebut ketika
ditanya para wartawan mengenai lukisan-lukisannya, menjawab, “Sebenarnya
lukisan-lukisan yang saya hasilkan ini belum selesai. Selalu saja ada inspirasi
yang membuat saya terus menerus memperbaiki lukisan saya.” Suasana hening merinding
saat Gde Aryantha mengakhiri ceritanya, “Saat pelukis Bali tersebut menyatakan
bahwa semua lukisannya telah ia selesaikan, beberapa waktu kemudian pelukis
besar tersebut wafat.”
Gde Aryantha Soetama
dan Pengembaraan
Pak
Gde Aryantha menekankan pentingnya berkelana bagi seorang penulis. Baik
berkelana secara fisik maupun pikiran. Pengembaraan akan membuat sebuah tulisan
menjadi unik dan otentik. Sebuah karya yang unik dan otentik tidak hanya
menghibur pembaca namun juga terkenang sepanjang masa, kisahnya diulang dan
dikisahkan dalam beragam versi lain di luar jamannya. Contohnya kisah
Mahabaratha yang memiliki kekuatan dalam hal karakter, nilai-nilai kehidupan,
dan benang merahnya. Benang merah cerita adalah seperti garis takdir. Sesuatu
yang muncul di depan cerita akan muncul lagi di belakang.
Sastra
lokal daerah memiliki kekuatan dalam hal orisinalitas. Orang Bali jika menulis
budaya lokal Bali tentu akan memiliki tingkat orisinalitas tinggi dibanding
orang luar Bali. Sebab orang lokal melihat tidak hanya apa yang dipermukaan
namun juga nilai-nilai kebudayaan yang tidak dirasa orang luar. Oleh sebab itu
gali kekuatan, rasa, martabat, budaya sendiri untuk mendapatkan orisinalitas
karya.
Mengenai
orisinalitas, Budi Darma menambahkan. Untuk menjadi penulis yang memiliki gaya
bercerita yang orisinal caranya dengan mencontoh, mencoba dan menganalisa gaya
penulisan-penulisan pengarang besar. Itu cara yang dilakukan Ernest Hemingway.
Para kritikus mengakui bahwa Hemingway memiliki gaya penulisan sendiri yang
unik. Seperti dalam cerpen A Mountain
Like A White Elephant. Hemingway menggunakan sedikit narasi dan menambah kekuatan
dialog untuk membangun cerita.
Praktek
Mencari Ide dan Menulis Cerpen
Setelah
mengisi kepala dengan spirit penulisan kedua maestro cerpen Indonesia, kegiatan
workshop dilanjutkan dengan praktek berkelana mencari ide dan menuliskannya.
Seluruh peserta workshop diajak berkelana ke Pantai Sanur bersama Pak Gde
Aryantha dan Ibu Myrna Ratna salah satu editor Kompas. Para peserta dibebaskan
melakukan pengembaraan, baik secara fisik maupun imaji segala aktivitas di
sekeliling pantai seama 30 menit. 30 menit berikutnya, para peserta workshop
menuangkan semua imajinasinya di laptop masing-masing.(*)
Baca juga cerpen dan dongeng ini:
Baca juga cerpen dan dongeng ini:
1 comment:
Mau Dapatkan Uang Dengan Mudah...
Yuk join bersama Rajabandarq Situs Bandarq, DominoQQ, Poker Online terbaik di asia dengan 9 game yang paling seru...
Buruan Daftar Disini >>> Rajabandarq
Klik Disini : Situs BandarQ
Klik Disini : Poker Online
Baca juga :
- Blogger : 24berita harian
- Blogger : Kisahselebindo
- Blogger : myrenew22
- Blogger : Panduan Bermain Game Judi Online
- Blogger : Dunia Fauna
Post a Comment