Koran by Heart.
Film dokumenter itu terekam di kepalaku. Kemampuan para hafidz kecil itu
mengetuk dadaku, memaksaku memeras air mata. Kepolosan mereka, harapan orangtua
mereka, masa depan mereka meninggalkan bekas dalam dada yang gersang ini. Entah
mengapa ide itu muncul dan mengusikku untuk menulis cerita tentang seorang
hafidz kecil. kehidupan, perjuangan, dan harapan mereka.
Sebuah
alur bak benang ruwet pun kubentuk. Bertepatan dengan itu masuk Ramadhan. Antitesa-Nourabooks mencari sebuah
naskah novel Quranic Writing. Voila! Mungkin ini yang dinamakan
takdir. Kesempatan tidak datang dua kali, jadi aku memberanikan diri memasukkan
sinopsis dan contoh 10 halaman calon novelku. Setelah penantian mendebarkan, Alhamdulillah, naskahku masuk sebagai
salah satu peserta Noura Books Academy
(NBA) angkatan 2. Dengan pede aku menuju Bogor untuk pembekalan Quranic Writing sebagai landasan
penulisan novelku bersama novelis kondang Tasaro GK, Fatih Zam, dan master
lukis Dredhagora Hadiwijaya.
Menulis
novel yang benar-benar bagus, tidak semudah yang kukira. Teori-teori menulis
yang selama ini kukumpulkan gugur seketika. Lha iya lah, teori yang kupunya
hanya sekelumit teori nulis skenario yang kupelajari sambil lari-lari di kantor
saking stressnya ngejar deadline PH. Teori MAKAR LUSI yang diajarkan Mas Tasaro
membuatku melongo. Teori Mas Fatih tentang Quranic
Writing bikin aku garuk-garuk kepala. Mengikuti presentasi naskah
teman-teman seangkatan NBA 2, membuatku keder. Dzikry El Han, Puspita RM, Kiki Mustofa, Mini GK, Arra Itsna Yusuf, Nessa
Dinata, Yansa El-Qarni, Zulfiza Ariska, dan Ari Mami. Mereka begitu matang menuliskan baris demi baris narasi
bangunan dasar cerita mereka. Sedangkan kepalaku mulai dilanda kebingungan mau
dibawa kemana ceritaku ini?!
Coretan
dan gambarku yang menjadi salah satu penilaian di kemah NBA 2 oleh Mas Gora
Wijaya, benar adanya, aku bisa melontarkan sebuah ide di awal dengan yakin,
namun jadi kebingungan sendiri saat menyelesaikan ideku itu. Hiyaaa!…pengen teriak nangis rasanya. Ya
Allah, kok aku bego banget.
“Naskah yang bagus adalah naskah
yang rumit persiapannya tapi sederhana penyajiannya”
Pesan
Suhu Tasaro menyentilku. Memaksaku menggali lagi teori dasar penulisan. MAKAR
LUSI—Tema, Karakter, Alur, dan Diksi. Apa semua itu sudah benar-benar kusiapkan
dalam naskahku? Belum. Aku hanya punya “alur” yang kusukai untuk ditulis. Tema
masih mengambang dan menjadi pertanyaan para pembimbing. Karakter, sama sekali
belum kukenali dengan baik. Diksi seadanya.
Satu-satunya
bekal nulis yang bisa kulakukan hanya bikin konflik, konflik dan konflik. Kesan
awal salah satu guru novelku, Bunda Peri yang terhormat, berdecak kasihan sama
Hafidz karena konflik bertubi yang kutuliskan. (*mesem-mesem deh aku*). Dalam serial tv atau film,
sudah ada rumus alur mainstream yang tinggal diikuti: shocking opening, misunderstanding, false problem solving, klimaks
dan ending. Itu yang kupakai selama
di PH dulu. Eksekusi atau pengerjaan adegan satu episode naskah dibagi ke
beberapa penulis. Artinya, aku menulis hanya sebagian kecil dari bangunan utuh
cerita. Untuk eksekusi sebuah novel 200 halaman sendirian, aku masih gamang.
Pendalaman
karakter dan riset kurasakan sebagai kelemahan terbesarku. Ditambah aku bukan
jurnalis handal seperti Desi Anwar atau Najwa Sihab dalam mengorek keterangan
dari narasumber. Dalam setiap wawancara aku hanya mendapat satu jawaban dari tiga
pertanyaan yang kulontarkan. Aku juga tidak secerdas Alberthine Endah yang bisa
menghidupkan dan merangkum perjalanan sosok dalam sebuah biografi tokoh.
Sehingga paragraf-paragrafku terlalu datar untuk dibaca. Atau bisa juga aku memang
tidak ada bakat bersastra. Alhasil, tewaslah aku dengan sukses saat masih
berproses.
Tapi,
sudahlah. Aku pilih hidup lagi daripada menangisi naskah yang baru kubangun
pondasinya. Jadi aku terus memperjuangkan
“Hafidz-ku”. Aku menulis meski seperti bermain bongkar pasang. Menulis alur dulu
baru menyulam karakterisasi dan hikmah yang tertinggal. Aku pun jadi rajin
menggambar karakter-karakter yang terlibat meski hasilnya tidak sebagus
imajinasiku. Bahkan sering berdialog dengan Hafidz seperti apa karakternya dan
kawan-kawannya.
Aku : Hafidz, kamu itu bocah yang
seperti apa, sih?
Hafidz : Lha, bukannya semua sudah
tertulis di kitab Lauh Mahfudz?!
Aku : *gigit mousepad*
Bagaimana
bisa menciptakan naskah bagus bila penulisnya sendiri bingung mengeksekusinya?!
Tidak punya buku pegangan atau blueprint karakternya! Aku baru sadar. Menjadi
seorang penulis berarti menjadi “tuhan” kecil bagi dunia baru yang kita tulis.
Menciptakan seting dan karakter lengkap, baru membangun jalan ceritanya. Dengan
menghela napas, aku harus mulai dari awal. Tentu dengan masukan-masukan para pembimbing
dan editor Noura. Aku mencoba melatih gaya penulisanku. Gaya menulis anak-anak
tapi tidak kekanak-kanakan. Penuh konflik tapi sederhana penguraian masalahnya.
Sarat pesan tapi tidak mabok petuah dan ceramah.
Kusadari
novel pertamaku ini masih jauh dari harapan. Karakter, pesan dan logika masih mudah
dipatahkan. Moga di proses penulisan selanjutnya aku bisa lebih tenang dan
sabar membangun pondasi kuat sebuah bangunan yang bernama novel. Bismillahirrahmanirrahim... semangat nulis lagi.
“Rock bottom became the solid
foundation on which I built my novel.”
(Contekan kutipan dari Mbak JK Rowling)
Salam
Kreatif,
FiFadila
No comments:
Post a Comment