Monday 4 August 2014

[MAHKOTA CAHAYA UNTUK AYAH BUNDA] PROSES KREATIF


Koran by Heart. Film dokumenter itu terekam di kepalaku. Kemampuan para hafidz kecil itu mengetuk dadaku, memaksaku memeras air mata. Kepolosan mereka, harapan orangtua mereka, masa depan mereka meninggalkan bekas dalam dada yang gersang ini. Entah mengapa ide itu muncul dan mengusikku untuk menulis cerita tentang seorang hafidz kecil. kehidupan, perjuangan, dan harapan mereka.


Sebuah alur bak benang ruwet pun kubentuk. Bertepatan dengan itu masuk Ramadhan. Antitesa-Nourabooks mencari sebuah naskah novel Quranic Writing. Voila! Mungkin ini yang dinamakan takdir. Kesempatan tidak datang dua kali, jadi aku memberanikan diri memasukkan sinopsis dan contoh 10 halaman calon novelku. Setelah penantian mendebarkan, Alhamdulillah, naskahku masuk sebagai salah satu peserta Noura Books Academy (NBA) angkatan 2. Dengan pede aku menuju Bogor untuk pembekalan Quranic Writing sebagai landasan penulisan novelku bersama novelis kondang Tasaro GK, Fatih Zam, dan master lukis Dredhagora Hadiwijaya.

Menulis novel yang benar-benar bagus, tidak semudah yang kukira. Teori-teori menulis yang selama ini kukumpulkan gugur seketika. Lha iya lah, teori yang kupunya hanya sekelumit teori nulis skenario yang kupelajari sambil lari-lari di kantor saking stressnya ngejar deadline PH. Teori MAKAR LUSI yang diajarkan Mas Tasaro membuatku melongo. Teori Mas Fatih tentang Quranic Writing bikin aku garuk-garuk kepala. Mengikuti presentasi naskah teman-teman seangkatan NBA 2, membuatku keder. Dzikry El Han, Puspita RM, Kiki Mustofa, Mini GK, Arra Itsna Yusuf, Nessa Dinata, Yansa El-Qarni, Zulfiza Ariska, dan Ari Mami. Mereka begitu matang menuliskan baris demi baris narasi bangunan dasar cerita mereka. Sedangkan kepalaku mulai dilanda kebingungan mau dibawa kemana ceritaku ini?!

Coretan dan gambarku yang menjadi salah satu penilaian di kemah NBA 2 oleh Mas Gora Wijaya, benar adanya, aku bisa melontarkan sebuah ide di awal dengan yakin, namun jadi kebingungan sendiri saat menyelesaikan ideku itu. Hiyaaa!…pengen teriak nangis rasanya. Ya Allah, kok aku bego banget.

“Naskah yang bagus adalah naskah yang rumit persiapannya tapi sederhana penyajiannya”
           
Pesan Suhu Tasaro menyentilku. Memaksaku menggali lagi teori dasar penulisan. MAKAR LUSI—Tema, Karakter, Alur, dan Diksi. Apa semua itu sudah benar-benar kusiapkan dalam naskahku? Belum. Aku hanya punya “alur” yang kusukai untuk ditulis. Tema masih mengambang dan menjadi pertanyaan para pembimbing. Karakter, sama sekali belum kukenali dengan baik. Diksi seadanya.

Satu-satunya bekal nulis yang bisa kulakukan hanya bikin konflik, konflik dan konflik. Kesan awal salah satu guru novelku, Bunda Peri yang terhormat, berdecak kasihan sama Hafidz karena konflik bertubi yang kutuliskan. (*mesem-mesem deh aku*). Dalam serial tv atau film, sudah ada rumus alur mainstream yang tinggal diikuti: shocking opening, misunderstanding, false problem solving, klimaks dan ending. Itu yang kupakai selama di PH dulu. Eksekusi atau pengerjaan adegan satu episode naskah dibagi ke beberapa penulis. Artinya, aku menulis hanya sebagian kecil dari bangunan utuh cerita. Untuk eksekusi sebuah novel 200 halaman sendirian, aku masih gamang.

Pendalaman karakter dan riset kurasakan sebagai kelemahan terbesarku. Ditambah aku bukan jurnalis handal seperti Desi Anwar atau Najwa Sihab dalam mengorek keterangan dari narasumber. Dalam setiap wawancara aku hanya mendapat satu jawaban dari tiga pertanyaan yang kulontarkan. Aku juga tidak secerdas Alberthine Endah yang bisa menghidupkan dan merangkum perjalanan sosok dalam sebuah biografi tokoh. Sehingga paragraf-paragrafku terlalu datar untuk dibaca. Atau bisa juga aku memang tidak ada bakat bersastra. Alhasil, tewaslah aku dengan sukses saat masih berproses.

Tapi, sudahlah. Aku pilih hidup lagi daripada menangisi naskah yang baru kubangun pondasinya. Jadi aku terus  memperjuangkan “Hafidz-ku”. Aku menulis meski seperti bermain bongkar pasang. Menulis alur dulu baru menyulam karakterisasi dan hikmah yang tertinggal. Aku pun jadi rajin menggambar karakter-karakter yang terlibat meski hasilnya tidak sebagus imajinasiku. Bahkan sering berdialog dengan Hafidz seperti apa karakternya dan kawan-kawannya.

Aku                 : Hafidz, kamu itu bocah yang seperti apa, sih?
Hafidz             : Lha, bukannya semua sudah tertulis di kitab Lauh Mahfudz?!
Aku                 : *gigit mousepad*

Bagaimana bisa menciptakan naskah bagus bila penulisnya sendiri bingung mengeksekusinya?! Tidak punya buku pegangan atau blueprint karakternya! Aku baru sadar. Menjadi seorang penulis berarti menjadi “tuhan” kecil bagi dunia baru yang kita tulis. Menciptakan seting dan karakter lengkap, baru membangun jalan ceritanya. Dengan menghela napas, aku harus mulai dari awal. Tentu dengan masukan-masukan para pembimbing dan editor Noura. Aku mencoba melatih gaya penulisanku. Gaya menulis anak-anak tapi tidak kekanak-kanakan. Penuh konflik tapi sederhana penguraian masalahnya. Sarat pesan tapi tidak mabok petuah dan ceramah.

Kusadari novel pertamaku ini masih jauh dari harapan. Karakter, pesan dan logika masih mudah dipatahkan. Moga di proses penulisan selanjutnya aku bisa lebih tenang dan sabar membangun pondasi kuat sebuah bangunan yang bernama novel. Bismillahirrahmanirrahim... semangat nulis lagi.

“Rock bottom became the solid foundation on which I built my novel.” 
(Contekan kutipan dari Mbak JK Rowling)


Salam Kreatif,
FiFadila




No comments: