Bobo edisi 28, Kamis 16 Oktober 2014
LEGENDA
SMONG
*FiFadila*
“Halah,
itu cuma legenda. Nggak mungkin nyata!” Baron menertawakan ketakutan Rukiyah.
“Itu
bukan legenda belaka. Nenekku mengalaminya sendiri seratus tahun yang lalu. dia
bertemu smong di tahun 7. Banyak
orang mati tersangkut di pohon durian.” Rukiyah berusaha keras meyakinkan
orang-orang. “Smong akan datang
setiap seratus tahun. Jadi kita semua harus waspada dengan laut. Kalau bisa
kita pindah dari pantai agar tidak kena amuknya yang mengerikan.”
Rukiyah berpegang teguh
pada legenda smong dari pulau
kelahirannya, Pulau Mentawai. Meski dia sudah bepergian jauh ke ibukota, dia
selalu mengingat dan berhitung dengan tahun. Jika neneknya benar maka tahun ini
smong akan datang menghantam pantai,
menyerang manusia-manusia dan benda yang ada di sekitar pantai.
“Sudah, jangan
takut-takuti kami!”

Namun tak seorangpun
percaya perkataan Rukiyah. Ada beberapa orang yang mengejeknya gila karena
percaya pada legenda. Ejekan penduduk makin menjadi saat purnama kedua lewat.
Gempa memang terjadi tapi smong tidak
datang. Purnama ketiga, keempat sampai kesebelas terlewat sudah. Smong tidak
terlihat. Orang-orang seibukota semakin riuh mengejek Rukiyah.
“Smong hanya legenda jadi berhentilah menakut-nakuti kami,” ejek
Baron.
Rukiyah sedih dan
takut. Jika tak ada lagi yang percaya maka smong
dengan mudah menggilas seluruh penduduk. dia pun berpikir apa yang harus dia
lakukan untuk membawa orang seibukota lari ke gunung bila smong muncul.
Siang itu Rukiyah
tengah memanggul beras di pasar. Pekerjaan kasar khusus orang laki-laki. tapi
hanya itu pekerjaan yang bisa dia kerjakan. Ia dianggap gila oleh orang-orang
sekitarnya sehingga tak ada yang mau mempekerjakan dia di tempat yang sesuai.
Hyut…hyut…Brrkk…
Rukiyah merasa jalannya oleng. Getaran itu terasa makin lama makin keras.
Berarti bukan kantung berasnya yang berat atau kepalanya pusing. Tapi itu
adalah sebuah gempa yang sangat keras. Goni beras di pundaknya sampai dia
jatuhkan ke tanah.
“Ikan, ikan, ikan,”
serombongan orang berteriak. Mereka terdengar tergesa menuju pantai. “Laut
surut. Kita bisa panen ikan.”
Rukiyah langsung
waspada. Gempa besar. Pantai surut. Ia tak perlu melihat pantai untuk
memastikan. Dia harus cepat-cepat menyelamatkan diri ke bukit terdekat. Dia
hanya punya waktu sebentar sebelum smong
datang. limabelas atau duapuluh menit. Tapi bagaimana mungkin dia tega meninggalkan
orang-orang menjemput kematian mereka di pantai?
“Sembako gratis, sembako
gratis di atas bukit sana! Cepat, sebelum kehabisan!” teriak Rukiyah spontan
pada orang-orang yang berbondong menuju pantai.
Perhatian orang-orang
terpecah. Mereka tertarik mendengar teriakan Rukiyah.
“Banarkah?” tanya
orang-orang menoleh pada Rukiyah.
“Ini, aku habis ambil ke bukit sana.” Rukiyah menunjuk karung
ditanah.
“Tunjukkan letaknya
pada kami,” desak orang-orang.
“Ayo cepat! Kita harus
lari.” Rukiyah berlari mendahului mereka. Ia pun berteriak sembako gratis di
sepanjang dia lewat.
Orang-orang yang
mengikutinya pun semakin panjang. Lari Rukiyah semakin kencang menaiki bukit.
Berlari, lari, lari terus ke puncak tertinggi.
“Hei berhenti. Kamu mau
kasih sembako gratis apa membohongi kami? Kamu kan Rukiyah si orang gila.”
Teriak seorang yang terengah-engah.
“Dia rukiyah gila!”
teriak orang lain. rombongan itu langsung terhenti. Mereka baru sadar telah
mengikuti ornag yang selama ini mereka anggap gila.
“Hei, Rukiyah. Kamu
bikin kami rugi. Kami tadi harusnya panen ikan di pantai. Kamu malah membohongi
kami sembako gratis.” Teriak seseorang di depan.
Wajah Rukiyah
ketakutan. Dia menunjuk arah laut. Ia khawatir lari mereka belum cukup tinggi.
Gemuruh laut begitu keras. Rombongan yang melihat laut terpekik ngeri. Ombak
yang biasanya berdebur menabrak karang, sekarang terlihat terbang tinggi,
mengejar dan ingin melahap bukit yang mereka naiki.
Byur…
air laut menghantam daratan. Orang-orang
yang masih dibawah terpekik takut terbawa arus laut yang menghantam sisi bukit.
Beruntung tak ada seorang pun yang terhantam air laut yang tiba-tiba menggunung
tinggi.
Rombongan itu tak ada
yang berbicara. Mereka ketakutan melihat genangan air di sekitar bukit.
Menggeret rumah dan segala macam benda di bawah sana. Seharian semalam
rombongan itu berada di atas bukit. Sedih, kuyu, dan ngeri. Kampung nelayan
mereka rata dengan tanah. Smong yang
mereka anggap hanya legenda, baru saja datang dan mengambil harta benda mereka.
Untungnya bukan nyawa mereka yang terambil. Sejak saat itu penduduk di
sepanjang pantai samudra hindia mengenal legenda smong sebagai bencana tsunami
yang harus diwaspadai.(*)
Baca juga cerpen dan dongeng ini:
No comments:
Post a Comment